KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH.
Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari
10 bersaudara ini lahir pada hari jum’at legi, Rabiul Awwal 1333 H, bertepatan
dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.
Wahid
Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari.
Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang
kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan
Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu bertemu pada satu titik, yaitu
Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja kerajaan Mataram. Sultan
Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.
Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah,
Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul Krim, Ubaidillah,
Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim
Asy’ari dikaruniai empat putra yakni Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub.
Mondoknya hanya beberapa hari
Abdul
Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai
membaca al-Qur’an, dan bahkan sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh
tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga
belajar di bangku Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan
anak-anak seusianya.
Pada
usia 13 tahun ia dikirim ke pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di
Sidoarjo. Ternyata di sana hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke
Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Lagi-lagi ia di Pesantren ini mondok dalam
waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah
pondok dan nyantri hanya dalam waktu yang sangat singkat dan hanya dalam
hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan Abdul Wahid hanyalah keberkatan
dari sang guru, bukan ilmunya. Soal ilmu, demikian mungkin ia berpikir, bisa
dipelajari di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah,
adalah masalah lain, harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya
menjadi pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu. pada usia 15 tahun ia
sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua
bahasa asing itu dipelajari dengan majalah yang diperoleh dari dalam atu
kiriman dari luar negeri.
Menerapkan Sistem Madrasah ke Dalam Sistem Pesantren
Pada 1916, KH. Ma’sum, menantu KH. Hasyim Asy’ari, dengan
dukungan Wahid Hasyim, memasukkan system madrasah ke dalam system pendidikan
pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun
pertama dan kedua dinamakan siffir awwal dan siffir tsani, yaitu masa persiapan
untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awwal dan siffir
tsani diajarkan khusus bahasa Arab sebagai landansan penting pembedah khazanah
ilmu pengetahuan Islam, pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah
dengan pendidikan umum, seperti bahasa Indonesia (melayu), berhitung dan Ilmu
Bumi. Pada 1926, KH. Muhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan
sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim
Asy’ari.pembaruan pendidikan Pesantren Tebuireng yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari,
berikut murid dan puteranya, bukan tanpa halangan. Pembaruan pendidikan yang
digagasnya menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat dan kalangan
pesantren, sehingga banyak juga orang tua santri memindahkan anak-anaknya ke
pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut Pesantren Tebuireng
dipandang sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses
pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan
oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren
Berangkat ke Mekkah
Pada
tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, ia dikirim ke Mekkah, di samping
untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima juga untuk memperdalam berbagai
cabang ilmu agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya,
Muhammad Ilyas, yang kelak menjadi Menteri Agama, Muhammad Ilyas memiliki jasa
yang besar dalam membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi remaja yang
mengajari Abdul Wahid bahasa Arab. Di tanah suci ia belajar selama dua tahun.
Dengan pengalaman pendidikan tersebut, tampak ia sebagai
sosok yang memiliki bakat intelektual yang matang. Ia menguasai tiga bahasa
asing, yaitu bahasa Arab, Inggris dan Belanda. Dengan bekal kemamupuan tiga
bahasa tersebut, Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa
tersebut. Otodidak yang dilakukan Wahid Hasyim memberikan pengaruh sigfinikan
bagi praktik dan kiprahnya dalam pendidikan dan pengajaran, khususnya di pondok
pesantren termasuk juga dalam politik
Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyimmulai terjun ke dunia
politik. Bersama kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik,
pembaharuan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penajajah.
Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas
dari penjajah.
Menikah
Pada
usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putrid KH.
Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini
dikaruniai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan presiden RI),
Aisyah (ketua umum PP Muslimat NU 1995-2000), Salahuddin al-Ayyubi (Insinyur
lulusan ITB/pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim). Umar
(Dokter lulusan UI). Khadijah dan Hasyim.
Empat Tahun Sebelum Masuk Organisasi
Jangan
ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran
kritisnya. Pada umumnya orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar
tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan
atau karena semangat primodial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU
Proses ke-NU-an Abdul Wahid berlangsung dalam waktu yang
cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran
kritis untuk menentukan pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.
Waktu itu April 1934, sepulang dari Mekkah, banyak
permintaan dari kwan-kawannya agar Abdul Wahid Hasyim aktif dihimpunan atau
organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU).
Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi
pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis
Pokok Pemikirannya
Sebagai
seorang santri pendidik agama, focus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah
peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut
menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khusunya pesantren. Dari
sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh
tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan
dengan tiadanya gangguan fisik ketika beraktifitas. Sedangkan kesehatan rohani,
manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah
sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai
dengan ajaran Islam.
Mendudukkan
para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi,
dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia
tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat.
Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara
langsung membina pondok pesantren asuhan ayahnya.
Pertama-tama
ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsure ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai
berhasil. Karena itu ia dikenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan
pendidikan modern di dunia pesantren.
Untuk
pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya
untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus
dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.
Dalam
melakukan perubahan terhadap system pendidikan pesantren, ia membuat
perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan.
Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut.
·
Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
·
Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
·
Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat
dicapai.
Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di
lingkungan pesantren lebih berkonsentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat),
nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia), dengan seperti itu, pesantren
didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual
sacral dan sebagainya.
Meski tidak pernah mengenyam pendidikan modern, wawasan
berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan
dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat social dan pendidikan. Berkembangnya
pendidikan madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya
yang dilakukan oleh cendekiawan muslim, termasuk Wahid Hasyim, yang melihat
bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai
dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Apa yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah merupakan
inovasi baru bagi kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian
pesantren terhadap penjajah membuat pesantren mengaharamkan semua yang
berkaitan dengannya, seperti halnya memakai pentolan, dasi dan topi dan dalam
konteks luas pengetahuan umum.
Dalam metode pengajaran, sekembalinya dari Mekkah untuk
belajar, Wahid Hasyim mengusulkan perubahan metode pengajaran kepada
ayahnya.usulan itu antara lain agar system bendongan diganti dengan system
tutorial yang sistematis, dengan tujuan untuk mengembangkan dalam kelas yang
menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan
menghafal mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan atau berdiskusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim,
metode bendongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri.
No comments:
Post a Comment